0 komentar Jumat, 06 Maret 2009




Judul : Samin Kudus. Bersahaja di Tengah Askestisme Lokal
Penulis : Moh. Rosyid , M.Pd
Penerbit : Pustaka Pelajar, 2008, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Ringkasan isi :

Masyarakat Samin sering dipandang "negatif" oleh sebagian orang, karena mempunyai "aturan" tersendiri yang berbeda dengan masyarakat sekitarnya, tidak mentaati peraturan pemerintah, dan lain-lain. Buku tulisan Moh. Rosyid, M.Pd tentang masyarakat Samin yang berlokasi di Desa Kutuk, Dukuh Kaliyoso, Desa Karangdowo dan Desa Larekrejo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, Propinsi Jawa Tengah ini, membuktikan bahwa masyarakat Samin tidaklah "seburuk" sangkaan orang. Komunitas Samin mempunyai kriteria sebagai kelompok sosial yang bersifat primer, formal (mempunyai kaidah/rambu-rambu tidak tertulis tetapi lisan), dan informal. Dilihat secara umum komunitas Samin Kudus berada di pinggiran (pelosok) kota Kudus, pola hidupnya jauh dari nuansa perkotaan dan industri, sehingga kurang tersentuh gebyarnya pembangunan daerah yang bernuansa perkotaan, hal yang mempengaruhi karakter dan kehidupannya. Hal ini membuat pengikut Samin dapat teguh memegang ajarannya yang cocok dengan pola hidup serba naturalis.

Budaya masyarakat Samin Kudus yang identik-mengikuti budaya masyarakat sekitarnya diantaranya slametan (kelahiran, khitanan, pernikahan dan kematian), gotong royong dan organisasi intern Samin (dalam tata cara pelaksanaan ada perbedaan). Watak dan etika masyarakat Samin Kudus sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya yakni arif-jujur, mawas diri, ikhlas, eling, satria, juga mempunyai etika kejawaan berupa hormat dan rukun, ramah dan selalu mawas diri. Masyarakat Samin adalah masyarakat yang sebenarnya keberadaannya biasa-biasa saja, ora seneng digunggung, ora serik diala (tidak senang dipuji, tetapi tidak sakit hati bila diejek). Kalaupun ada yang mencela mereka mernjawab kahanane donya, wonten ingkang sae wonten ingkang mboten sae (keadaan di dunia ada yang baik ada yang tidak baik).

Ajaran Samin adalah warisan dari Samin Surosentiko, putra Bupati Tulungagung (sebagai perlawanan terhadap Belanda pada masa tersebut) yang masih dilestarikan sampai saat ini. Adanya masyarakat Samin di Kudus ini tidak terlepas dari kiprah Bapak Sosar (warga Desa Kutuk), Bapak Radiwongso (warga Dukuh Kaliyoso), dan Bapak Proyongaden (warga desa Larekrejo). Dalam buku ini diterangkan secara jelas bahkan terdapat skema nama. Pengikut Samin di Kudus mentradisikan budaya lisan, sehingga aktifitas yang berkaitan dengan sejarah dan sejenisnya tidak dapat memberikan informasi penanggalan maupun penahunan.

Karakter aktifitas yang dilakukan seseorang berkaitan dengan Samin dapat dibagi tiga yaitu Samin Sangkak (masyarakat Samin yang jika berinteraksi dengan pihak lain dalam memberikan jawaban menggunakan kiratabasa), Samin Ampeng-ampeng (mengaku Samin perilakunya tidak sesuai ajaran Samin atau jika berbicara seperti Samin (Sangkak), perilakunya tidak seperti Samin sejati), dan Samin Sejati (Samin yang berpegang pada prinsip Samin sebenarnya).

Samin sebagai pegangan dan keyakinan hidup memiliki prinsip dasar ajaran (perintah) dan pantangan (larangan). Ajaran Samin mempunyai enam prinsip dasar dalam beretika berupa pantangan untuk tidak drengki (membuat fitnah), srei (serakah), panasten (mudah tersinggung / membenci sesama), dawen (mendakwa tanpa bukti), kemeren (iri hati), nyiya marang sapada-pada (nista terhadap sesama), bejok reyot iku dulure, waton menungsa tur gelem dindaku sedulur (jangan sia-sia terhadap orang lain, seperti apapun keadaannya sesama manusia adalah saudara jika mau dijadikan saudara). Sedangkan lima pantangan dasar dalam berinteraksi adalah bedok (menuduh), colong (mencuri), pethil (mengambil barang (yang masih menyatu dengan alam / melekat dengan sumber kehidupan) misal sayur mayur ketika masih di ladang), jumput (mengambil barang (yang telah menjadi komoditas pasar) misal beras, hewan piaraan, dll), nemu wae ora kena (menemukan saja tidak boleh).

Ajaran dasar dalam berpinsip diri meliputi kudu weruh the-e dhewe (harus memahami barang yang dimiliki dan tidak memanfaatkan milik orang lain), mligi (taat pada aturan yang ada berupa prinsip beretika dan prinsip berinteraksi), rukun (dengan istri, anak, orang tua, tetangga dan siapa saja). Tiga ajaran ini menumbuhkan rasa solidaritas yang tinggi oleh kelompok Samin terhadap siapa saja yang dijumpai.

Ada lima pantangan dasar ajaran Samin yaitu tidak diperbolehkan mendidik anak melalui pendidikan formal (sekolah) dan non formal (kursus), anak hanya dibekali pendidikan informal bermaterikan prinsip dasar beretika, tidak diperbolehkan bercelana panjang, tidak boleh berpeci, tidak diperbolahkan berdagang dan tidak diperbolahkan beristri lebih dari satu. Dalam perkembangannya pantangan tersebut mengalami pergeseran. Menurut penulis hal ini disebabkan tidak ada sanksi/hukuman, masyarakat Samin telah merespon dinamika budaya dari lingkungannya yang non Samin, dan meskipun terjadi pergeseran, mereka berprinsip yang penting perilakunya baik terhadap sesama manusia (Samin atau bukan Samin). Untuk mempererat ikatan emosional di antara warga Samin mereka mengadakan pertemuan biasanya seminggu sekali. Masyarakat Samin Kudus mempunyai prinsip dasar harapan hidup berupa seger waras / sehat sentosa, karena tanpa sehat sentosa hidup tidak sempurna dan tidak akan mencapai sejahtera, rukun yang merupakan kebutuhan asasi yang penting untuk menggapai kebahagiaan individu, masyarakat bahkan internasional. Hal ini menjadi alasan bagi masyarakat Samin untuk berkumpul dalam satu lingkungan rumah tangga. Dan yang terakhir becik-apik sak rinane sak wengine, bertingkah laku dan berbuat baik di saat siang mau pun malam/setiap saat.

Masyarakat Samin memiliki kepercayaan yang mereka sebut "agama Adam". Agama Adam bagi masyarakat Samin dibawa sejak lahir,Adam merupakan perwujudan "ucapan" dan diwujudkan dengan aktivitas yang baik. Munculnya istilah "Adam" sebagai bukti pemahaman Samin, sebagai nama manusia pertama yang diciptakan Tuhan di dunia ini. Sedangkan kata "agama" tersebut bukan berarti tradisi tersebut menjadi agama, namun lebih bermakana "ugeman", atau pegangan hidup, akan tetapi tradisi tersebut bermuatan ajaran etika hidup menjadi kepercayaan yang dipegang erat dengan cara mempertahankannya melalui proses pendidikan non formal (dalam keluarga) sedari kecil dengan model tradisi lisan dan melalui teladan. Samin memiliki ajaran lisan berupa pernyataan bahwa agama iku gaman, adam pangucape, man gaman lanang (agama Adam merupakan senjata hidup yang terkodifikasi berupa prinsip hidup).

Pada prinsipnya ajaran yang dilaksanakan warga Samin Kudus lebih menekankan pada ajaran perilaku-budi-pekerti yang bersifat horisontal (hubungan dengan manusia), berpegang pada prinsip hidup dan prinsip larangan hidup.

Teks : Kusalaman

Sumber, Rumah Seni TEMBI

0 komentar Minggu, 01 Februari 2009




Belakangan kita melihat kecenderungan trend Seni rupa Indie di pusat-pusat senirupa Indonesia. Di Jogjakarta ada Apotik Komik,Daging Tumbuh, Taring Padi, Ruang Mes 56 yang aktifitasnya menggunakan media komik sebagai presentasi seni, kemudian mereka giat berkarya mural di sekujur kota Jogja juga explorasi New media. Demikian pula di Bandung ada Common Room kemudian aktif dalam kelompok Button Culture 21,Ujung Berung Rebels, Ultimus, Balkot, Punk Rock.
Perupa yang kebanyakan masih muda usia itu lincah mengungkap segi-segi perikehidupan urban berikut dengan media ungkapnya. kemudian di Jakarta ada Ruang Rupa, adalah komunitas seni yang bergerak tidak hanya mengedepankan media video tetapi segala hal yang bernafas urban.
Belakangan kelompok ini menggawangi Biennale XIII di Jakarta yang sangat eksploratif.

Seni Indie yang menunjuk pada media, pokok tema dan presentasi yang mengambil unsur, sikap,kebiasaan dan permasalahan urban mewujud pada komik, Mural, Grafiti, video digital, display, software,sistem instalasi, Drawing, Stiker bahkan desain Kaus. Gerakan Indie disebut juga Underground membangun konsep kesenian, problematik, material, cara penyajian dan ruang mediasi yang menyempal dari arus utama.

Lihat cara penyajian mereka yang seakan bergerilya, Daging Tumbuh menyebarkan komik seni mereka lewat duplikasi foto copy, Ruang Mes 56 sendiri adalah rumah hunian biasa yang dikontrak untuk studio sekaligus menjadi ruang pamer. Banyak di antaranya berpameran dalam dunia maya lewat fasilitas Blog.

Sikap berkesenian mereka dengan santai mengangkat narasi-narasi kecil di sekitar kehidupan mereka. Kesenian dijadikan sarana berekspresi dan bermain yang relefan dengan kebutuhan gaya hidup mereka.(Ilham Khoiri, Kompas 7/12/08)

Bagaimana dengan Kota kecil macam Kudus yang seakan jauh dari hingar bingar itu? Di jalan Sunan Kudus, sebuah jalan protokol penting di kudus pada sebuah tembok dari bangunan tua sebelah timur perempatan Jember ada jejak mural yang menarik.

Visualisasinya dekat dengan dunia komik, berupa tiga figur berjajar dengan mimik muka yang seram-seram. Figur yang di tengah adalah anjing besar yang menyeringai sama dengan dua orang di sampingnya tapi dengan mata putih semua. Figur di sebelah kanan lelaki berjenggot, memakai kaus belang khas warok dengan tangan mengacungkan jari simbol Metal (dulu acungan jari ini identik dengan musik keras yang kerap di sebut Metal).

sedang figur di samping kiri adalah lelaki botak, gendut dan beranting. Lidahnya menjulur ke luar dan telanjang dada. Latar belakang dari ketiga figur ini adalah mirip lelehan lendir yang pada bagian-bagian tertentu adalah bulatan mata reptil.

Dengan muatan tema yang profokatif itu Karya ini menarik karena seting tempatnya yang dekat dengan situs menara Kudus yang agamis. Anjing bagi umat muslim adalah binatang najis yang harus dijauhi, simbol jari metal lebih mirip protes bahkan simbol kekerasan dan kebebasan sedang anting bagi lelaki sangat tidak lazim menurut norma awam.

siapakah pembuatnya? karya itu meninggalkan jejak identitas pembuatnya yang nampak nya berkelompok yaitu ANS 76 & CHILD_MAN, AFTON_N451B@Yhaoo.com. Tapi ketika alamat E-mail itu di hubungi rupanya sudah tidak aktif, sayang sekali....