0 komentar Selasa, 02 Desember 2008

Semangat Berkesenian
Hidup berkesenian entah mengapa selalu berurusan dengan semangat /spirit, kata yang nyaris latah dan hampir selalu di ucapkan oleh banyak orang.
Spirit di asumsikan sebagai obat tatkala kita kehabisan tenaga jadi spirit menjadi entitas yang terpisah dari kehidupan.Tapi bukankah spirit adalah hidup itu sendiri?

Dalam hal pilihan hidup seseorang pastilah telah menetapkannya atau setidak tidak telah memikirkannya, soal karena keterpaksaan atau apalagi adanya kesempatan memilih , pastilah visinya tidak akan jauh-jauh. Entah karena lingkungan pergaulan, bakat atau cita-cita, dengan kata lain ada sebentuk prakondisi dimana pada akhirnya seseorang menetapkan sesuatu adalah pilihan atau menjadi bagian dari hidupnya.

Kita semua adalah orang-orang yang telah memilih bahwa Kesenian adalah pilihan kita. Dalam asumsi bahwa sebagian atau seluruh waktu, daya dan pikiran kita hendak menuju ke sebuah dunia yang di sebut Kesenian. Bukan perkara kita hendak total atau setengah-setengah atau bahkan hobi sekalipun. Rasanya naif menuntut seseorang untuk bersikap idealis sejati dimana hampir semua hajat hidup kita tercurah pada apa yang jadi impian kita.

Tidak bermaksud membahas soal spirit/semangat lewat rujukan atau sudut pandang filsafat ini itu, pengertian semangat dalam hal ini terutama dibatasi pada 'semangat berkesenian' yang rupanya menuju ke arah yang belum pasti. Komunitas PAKU (Perupa Kudus ) sendiri sekarang kita akui sedang suam- suam kuku, berbagai agenda pameran yang pernah di rencanakan berkali-kali kenyataannya harus kandas. Dua kali pameran rupanya sudah cukup bagi PAKU untuk berpikir lebih jauh, entah itu pameran yang bersifat kuratorial atau pameran yang tidak hanya bersifat lokal.

Sebagai Komunitas Perupa yang mau tidak mau kiprahnya telah mewarnai sejarah Kesenian Kudus, telah merasakan kebuntuan dalam arah perkembangan kesenian Kudus.
Tidak ada greget atau wacana yang jelas, baik itu secara konsep atau konkrit bentuknya.
Bagi PAKU sendiri bahkan semangat dalam berkarya keadaannya sedikit demi sedikit bergerak mendekati garis horisontal walaupun tidak keseluruhan. Walau di luar seni rupa terutama seni teater sedang bergairah, sayangnya kegairahan itu tidak mengimbas pada bidang seni lain . Di sini rupanya kita menemukan dua hal, semangat berkesenian yang kurang bergairah dan belum ada ( kebutuhan ) wacana kesenian yang cukup kuat yang membuat kesenian Kudus mengalami babak baru dalam perkembangan sejarah keseniannya.

Romantisme Semangat Masa Silam
Untuk melihat permasalahan menjadi lebih jelas ada baiknya kita melihat gambaran kesenian Kudus di masa lalu. Kesenian Kudus sejak tahun 60 an di tandai dengan bermunculannya sanggar-sanggar seni ( sumber, anggota/pelaku seni) yang multi jenis.Bahkan sebuah sanggar saat itu adalah tempat berkumpulnya peminat seni dari berbagai cabang kesenian, ada seni teater, tari, baca puisi dan melukis.

Akhir 60 an lahir HSBI ( Himpunan Seni Budaya Islam ) hingga sekarang, aktifitasnya tidak hanya bersifat lokal, kemudian Gema Budaya, Caka Budaya, Cikal Bakal hingga Akrab , Merah Putih, Lembaga Kaligrafi dan Kuas.Pada Gema Budaya anggotanya terdiri dari Pemusik, pelukis, teatrawan. Pada saat itu keadaannya serba terbatas, sanggar tidak selalu memiliki fasilitas lengkap bahkan lebih sering anggota sendiri yang membawa peralatan.
Jangan berpikir untuk bermain musik mereka akan berlatih dengan peralatan lengkap sebuah set Band seperti sekarang, dengan beberapa gitar dan satu atau lebih penyanyi sudah cukup untuk membentuk apa yang biasa disebut sebagai Vocal Group. Untuk pelukis, peralatan dan bahan tidak semudah sekarang, seringkali cat harus diramu sendiri.

Saat itu antar kelompok seni terjalin komunikasi yang baik, latihan dan pentas bersama sering dilakukan. Antar penggiat seni saling kenal satu sama lain. Kegiatan dijalankan dengan semangat untuk tampil walaupun apa adanya, dana merogoh kantung sendiri adalah hal biasa.

Bagi mereka saat itu yang dinanti adalah saat pentas atau pameran. Pameran adalah puncak aktifitas mereka, penonton yang apresiatif rasanya sudah sangat membanggakan hati. Pernah karena suatu keadaan mereka berpameran lukisan tidak memakai sketsel pada umumnya tapi memakai bahan 'gedeg' (bahan dinding dari anyaman bambu).
Tidur dan menjaga stand di ruang pameran adalah pekerjaan yang menyenangkan. Perasaan merdeka, senasib dan sepenanggungan begitu kuat hingga akhir perhelatan.

Perubahan Orientasi
Di penghujung dekade 80 an terjadi Booming Lukisan ( Sanento Yuliman), harga lukisan meroket hampir tidak masuk di akal. Bukan hanya terjadi pada lukisan pelukis papan atas tapi juga pada lukisan pelukis muda. Segala tolok ukur tentang kemaestroan seakan rubuh, kolektor, kolekdol dan agen menyerbu dengan harga gila-gilaan. Mereka rela menunggu berlama-lama di studio sang seniman yang lagi naik daun. Bahkan fenomena ini sempat disinyalir berulang di akhir 90 an, sebagai booming ke II.

Sengaja di ciptakan?, kemakmuran yang meningkat ? Kebutuhan akan status sosial? Adalah sederet hipotesis yang pernah malang melintang di mass media, seminar, forum diskusi.Yang jelas keadaan mengesankan pasar Seni Lukis sedang hebat, banyak peluang yang tengah kosong, lukisan apapun dari siapapun akan laku. Banyak pelukis jadi kaya mendadak yang kemudian menjadi kalangan elit baru berikut segenap gaya hidup baru.

Sejak saat itu beramai-ramailah para pelukis muda, calon pelukis, para petualang , kaum oportunitis hingga mavia lukisan bermunculan, tujuannya satu menjadi kaya.
Tolok ukur sukses pameran adalah banyaknya lukisan yang laku. Sah -sah saja tujuan seperti itu apalagi Kalau di barengi dengan kualitas yang dapat di andalkan.
Masalahnya adalah perubahan atmosfer berkesenian ke arah orientasi nilai ekonomi semata. Yang pada babak selanjutnya merubah orientasi berkesenian hampir pada semua skala dan tingkat lebih kecil. Gayung pun bersambut situasi sosial politik yang semakin sektarian dan chaotic terutama pasca reformasi, ditingkahi oleh badai krisis ekonomi yang seakan tak berujung.

Sikap Berkesenian
Dengan demikian keadaan sekarang menjadi berbeda dari masa lalu, demokratisasi politik menghimbas pada semua segi termasuk ekspresi seni berikut campur tangan dunia politik, bahkan gejala politik kekuasaan di kalangan pekerja seni sendiri. Kelompok kesenian yang di masa lalu adalah sanggar yang guyup oleh kebersamaan sekarang seperti terpolarisasi. Keadaan demikian masih diiringi oleh tekanan hidup yang semakin keras saja.

Adanya lembaga kesenian Pemerintah pada azasnya adalah mendorong tumbuh kembangnya kesenian. Pekerja seni diharapkan mendapatkan kegairahan berkarya, bersosialisasi hingga kemudian mendapatkan akses ke tingkat yang lebih. peran dan posisi lembaga Kesenian pemerintah adalah menjadi fasilitator walaupun disana sini masih terdapat kekurangan atau belum maksimal.

Tentunya sebagai pekerja seni aktifitas kita tidak menjadi surut begitu saja, tantangan untuk terus melahirkan karya yang baik dan kreatif pastilah ada di benak kita semua. Tulisan FX. Harsono Upaya Mandiri Seni Rupa Pembaharuan ( Kompas, 25 oktober 1992 ), dapat kita simak. Hampir seluruh perupa pembaharuan melakukan kerja di luar penciptaan kesenian mereka yang bersifat individual. Mereka memang tidak bisa hidup dari hasil karya seni mereka, sebagaimana halnya dengan pelukis, pematung atau para desainer. Pada mulanya upaya mensiasati hidup ini tidak disadari sepenuhnya sebagai suatu sikap hidup yang mendasari sikap kesenian, tetapi kemudian muncul kesadaran baru, bahwa kegiatan mencari nafkah dan berkesenian merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Bahkan dirasakan kegiatan mencari nafkah bisa menimbulkan percikan ide kreatif, pengalamaan baru dan penemuan idiom-idiom seni rupa yang baru. Sehingga sikap tersebut kemudian dipeluk sebagai sikap yang mendasari sikap kesenian mereka.

Gerakan Seni Rupa Baru adalah contoh penciptaan wacana yang di landasi oleh sikap berkesenian yang gigih, dengan mengambil resiko yang besar.
Semangat juang mereka dalam memperjuangkan ideologi estetika plural. Ideologi yang berdasar prinsip tujuan meruntuhkan definisi seni rupa yang terkungkung pada seni lukis, seni patung dan seni grafis. Definisi yang berakar pada prinsip artes liberales (liberal Art), dasar acuan high art yang digariskan pada masa renaissance abad XVI. Pandangan yang percaya hanya ada satu kebudayaan (tinggi) dan satu jenis seni rupa sebagai produknya, sebuah prinsip seni universal. Moelyono ( Seni Rupa Penyadaran).
Melalui ideologi estetika Seni Rupa Baru yang secara tegas menolak ideologi estetika universal, kita masih merasakan gemanya bahkan memberi bentuk seni kontemporer Indonesia hingga sekarang.

Kebutuhan wacana dan semangat berkesenian.
Kebutuhan wacana muncul setelah melihat potensi besar yang dimiliki Kudus, adanya lembaga perguruan tinggi, banyaknya kelompok-kelompok kesenian baik itu sastra, teater, seni rupa, tari dan musik. Selain itu banyak pelaku-pelaku seni adalah alumnus perguruan tinggi seni yang nota bene di persiapkan untuk menjadi tidak sekedar kreator tetapi juga seorang konseptor.
Juga adanya potensi seni indigenous yang menjadi klasik , rumah tradisional Jawa Kudus, pakaian adat tradisional yang khas, wayang klithik kentrung dll. Menunjukkan kreatifitas lokal yang melibatkan hasil olah pikir telah ada sejak dahulu.

Sekarang dinamika yang terjadi kemudian bukannya tanpa perkembangan apa-apa.
Konsep Wacana kesenian Kudus juga sempat menjadi polemik, tapi rupanya belum bergerak menjadi aksi yang kemudian melahirkan bentuk /wujud ekspresi kesenian tertentu. Hal ini jelas dibutuhkan karena kesenian juga perkara wujud/ simbol atau bentuk ekspresi, dimana kesenian tersebut mendapatkan eksistensinya.

Lalu mau ke mana kesenian Kudus setelah ini? Akankah potensi kreatif masa lalu itu akan berlalu begitu saja tanpa perkembangan? Benar telah ada 'tari kretek' bentuk tarian lokal yang mengambil inspirasi dari aktifitas pekerja rokok kretek, rokok yang juga adalah temuan asli Kudus. Wacananya sayup-sayup karena masih bergerak di wilayah permukaan.

Kudus adalah kota setingkat kabupaten tapi daya serap tenaga kerjanya termasuk luar biasa itu karena banyaknya industri besar dari yang berteknologi tinggi hingga sederhana. Terbayangkah jika temuan temuan produk elektronik dan teknologi dengan spesifikasi layak dipatenkan di tingkat dunia karena tergolong orisinal ada di sebuah kota kecil semacam Kudus? Itu belum industri skala menengah dan kecil, dimana di situ juga berkumpul ribuan tenaga kerja setingkat buruh hingga kalangan profesional yang sehari-hari adalah sekerup dari mesin kapitalisme. Pertemuan antara warga pendatang dan asli yang kemudian menimbulkan friksi budaya, lahan kosong yang semakin langka karena dimana-mana dibangun perumahan atau ruko / toserba yang kemudian cenderung melahirkan premanisme juga kecenderungan gaya hidup konsumtif, perbedaan status sosial ekonomi yang semakin tajam, rusaknya lingkungan alam karena polusi dan penebangan hutan di gunung Muria yang banjir air bahnya masih segar di ingatan hingga semakin banyaknya kaum yang terpinggirkan.

Bukankah Kudus adalah laboratorium seni yang sesungguhnya? Dan hampir semua perkara sosial, politik, ekonomi, antropologi, psikologi dan kelestarian alam ada di sini? Pekerja seni kelas juara pasti bergairah jiwanya karena melihat begitu banyak yang bisa dikerjakan karena dia akan menemukan banyak hal.
Lalu kenapa kesenian seperti adem ayem? Seakan menutup mata dan telinga pada fenomena yang terjadi hanya sejengkal di dekat kita?

wujud
Kalau ada buruh dari 8 pabrik di Jakarta-Bogor-Bekasi, ramai berpentas teater di Bandung yang diisi dengan pembacaan puisi, paduan suara dan berjoget bersama. Moelyono, (Seni Rupa Penyadaran, sub bab Buruh dan kesenian). Kita juga pasti lebih bisa, Dan itu hanya salah satu contoh saja.

Lalu di seni rupa juga belum nampak geliat itu karena selama ini belum pernah ada
Penyelenggaraan event pameran yang terkurasi dengan memakai wacana tertentu.
Pameran lebih menjadi ajang kegiatan yang lebih menekankan pada nilai kebersamaan.
Tema pameran juga masih bebas dalam arti setiap karya adalah masih tema-tema yang telah setia dan sekian lama digelutinya.

Rasanya tidaklah terlalu muluk seandainya ada kolaborasi antar kelompok seni yang sifatnya malah lintas disiplin. Seni rupa dalam hal ini Komunitas Paku ( Perupa Kudus) membuka diri terhadap rencana-rencana ke depan mengenai masa depan kesenian Kudus. Bukanlah tanpa alasan karena kecenderungan untuk bekerja bersama dalam sebuah event katakanlah sempat tersirat dan menggalang kebersamaan adalah cara yang dibutuhkan demi menyikapi perkembangan sekarang. Kalau Paku menangkap gejala seperti ini rasanya juga tidak salah kalau seandainya kemudian melontarkan ide, uneg-uneg atau bahkan impian.

Tentang penyelenggaraan semacam Pesta Kesenian, dimana organisasi kepanitiaan dibentuk oleh penggiat seni sendiri berikut segala macam tetek bengek penyelenggaraanya. Dan penyelenggaraan di andaikan ada di alun-alun di mana publik dari mana pun mudah mengaksesnya. Di panggung para penggiat seni pertunjukan mementaskan lakon yang mungkin juga berkolaborasi dengan pemusik atau sastrawan.
Senirupawan yang kepingin berakting bisa melakukan Performance Art, Happening Art atau pameran lukisan. Seni patung yang selama ini terpingit dalam ruang pamer atau studio bisa menjadi enviromental scluptur, berdiri di ruang terbuka.

Pada gilirannya nanti bukanlah impian jika Festival Kesenian Kudus akan terselenggara yang medannya mungkin tidak hanya berhenti bersifat lokal tapi kemudian berkembang menjadi ajang unjuk seni kawasan Pantura. Mengingat kedekatan kultur dan komunikasi antar penggiat seni yang sekarang pun sudah terlihat. Kenapa kita kalah dengan Jember yang punya Jember Fashion Festival yang nyaris jadi budaya?
Soal wacana pasti bisa dipikirkan sambil jalan karena banyak intelektual seni yang akan sanggup melakukan riset dan ada diantaranya yang punya semangat tinggi dan mempercayai bahwa kesenian adalah agen perubahan kebudayaan.

Jadi dengan demikian mudah-mudahan akan terbentuk atmosfer baru dalam berkesenian di Kudus, bukan karena wacana yang muluk-muluk tapi karena pembelajaran yang terjadi pasti juga luar biasa. Setiap penggiat akan belajar cara dan proses budaya kerja masing-masing disiplin atau kelompok berikut kesulitan, proses kreasi, penggalangan dana hingga manajemen kesenian. Ada niat ada jalan! Syaratnya adalah ada forum dimana para penggiat seni bisa berkumpul dan merasa memiliki tujuan yang sama, berjiwa independen, memahami satu sama lain, berpikir, berdiskusi, ikhlas dan berjiwa besar. Bahwa tidak ada satu golongan seni lebih tinggi dari yang lain semua sederajat.
Sekali lagi itu semuanya hanyalah unek-unek, gagasan atau impian.
Selamat bekerja! Salam Budaya!


Komunitas Perupa Kudus ( PAKU). 26 nov-06
Pernah menjadi bahan diskusi seluruh komunitas Seni di Kudus pada November 2006