0 komentar Selasa, 28 Oktober 2008

file lama, 2007

Latar Belakang
Bermula dari keinginan untuk mengadakan pameran dengan suasana dan semangat serba baru sehingga harapannya memunculkan bentuk-bentuk ekspresi seni rupa yang berisi ide-ide segar dan kreatif, maka diperlukan semacam ruang dimana perupa memiliki peluang untuk bereksperimen.
Ruang ini menjadi semacam media perantara atau semacam prakondisi karena untuk menemukan bentuk-bentuk ekspresi yang dianggap baru dan berwacana terutama bagi Komunitas PAKU yang sebelumnya telah memiliki adab berkesenian yang mapan tidaklah bisa serta merta.

Harapan untuk menemukan bentuk-bentuk ekspresi yang lebih kontemporer diperlukan demi semangat pencarian akan nilai-nilai baru sehingga mampu menerobos kebekuan yang selama ini menghinggapi Komunitas.
Baru dalam hal ini menurut skalanya, tidak berniat untuk terlalu muluk dengan mengikutkan Komunitas pada isue-isue berskala Nasional bahkan global atau yang konon kontekstual.

Gairah untuk serba baru hanya untuk mengobati dahaga dari kekeringan saja. Pemenuhan pada Ekspektasi prestasi adalah hal yang paling asasi karena dia adalah bentuk dari kehendak untuk Survive.

Ekologi pantai sebagai ruang
Ruang lingkup pantai adalah tempat yang menarik, kombinasi yang sempurna antara air, pasir, tanah, batu dan tetumbuhan bahkan angin.
Karakter yang khas dengan materi yang memiliki kemudahan kemungkinan untuk di akses dan dibentuk. Permainan patung-patung pasir sudah sangat di kenal bahkan event demikian menjadi subyek yang serius.
Tanah dan bebatuannnya juga menjadi media bagi Robert Smithsons salah satu tokoh Earthwork (Gerakan yang mendorong kerjasamadengan alam dalam satu karya seni) dalam karyaSpiral Jetty (1970) sebagai contoh.

Bagi kita komponen alam pantai pasti menantang untuk di ekspoitasi karena media ini bagi Komunitas terbilang baru juga dari segi event.Kreatifitas kita akan sangat ditantang dalam menciptakan karya dengan media terbatas di sekitar pantai atau hal-hal yang terkait langsung dengan budaya maritim misalnya perahu, jaring, bubu dll.

Tema kita bisa bebas mengangkat wacana apa saja, hanya perlu dipertimbangkan relasi antara wacana dengan elemen visual. Jangan sampai kedodoran, konsep tidak nyambung dengan elemen visual hal yang khas terjadi menurut hemat kita. Jangan lupa segi Artistik mestinya tetap dikedepankan demi menghindari keterjebakan menjadi seni sampah.

Yang jelas kegiatan ini berfungsi sebagai media antara semacam latihan bagi kita tapi bisa juga menjadi sesuatu yang serius terutama pada aspek sejarah perkembangan Seni Rupa Kudus.
Demikian semoga semangat berkesenian dan pencarian kita tidak lekas kendor.



29 juni 07

0 komentar Minggu, 26 Oktober 2008

DUNIA YANG TERBELAH Tema kuratorial Komunitas PAKU

Kita hidup di dunia dimana perbedaan adalah realitas yang sudah dijejal sejak awal kelahiran, di Indonesia sendiri kenyataan bahwa ada bermacam-macam suku bangsa dan bahasa dan tinggal di kepulauan yang banyak dan terpencar-pencar adalah semacam makanan pokok karena selalu kemudian dikaitkan dengan kekayaan bangsa.

Dunia selalu lebih rumit dari pada tampaknya atau malah lebih sederhana, mengenai keaneka ragaman yang sedemikian rupa malah sering pada akhirnya kita anggap satu atau lebih. Muncul sebagai Jargon politik, definisi seadanya dalam artikel-artikel populer atau semacam pola yang menetap dalam otak kita karena terbiasa berpikir serba hitam dan putih? Tapi begitulah keadaannya, dunia yang tidak sederhana akan lebih gampang untuk kita pahami jika kita bagi-bagi. Jadi gambaran semacam itu hanya ada di dalam benak atau angan-angan kita.

Saat ini yang konon sering disebut sebagai era kontemporer dimana kepribadian Lebih sering disangkut pautkan dengan pekerjaan atau pekerjaan mencerminkan kepribadian tertentu, kita akan menemui sekian banyak orang dengan kepribadian terbelah. Kalau memang sebuah pekerjaan atau katakanlah profesi atau karir adalah sebuah dunia maka mereka yang saat siang adalah guru terhormat kemudian saat malam menarik ojek adalah orang yang berada di dua dunia, bukankah tidak sedikit orang yang demikian ini sekarang?

Mengherankan, jika dalam benak kita pun ada semacam kegandrungan terhadap perbedaan atau semacam pemisahan antara unsur satu dengan atau berlawanan dengan unsur lain. Malahan pembedaan telah lama kita idap dan kemudian menjadi semacam pola pikir. Seakan-akan kita akan lebih mengenal dunia jika kita kemudian membuat dikotomi atau pembedaan-pembedaan dan juga melawankannya.

Di Indonesia pasti kita akan menemukan istilah Pribumi dan Nonpribumi. Istilah ini demikian populer sehingga rongga kesadaran kita seakan hanya melihat dua hal dalam melihat komposisi penduduk Indonesia.
Lihat juga kenyataan bagaimana peta dunia seakan dibedakan dalam kutub barat dan timur yang lebih menunjuk pada perbedaan garis budaya, politik, kemudian utara dan selatan yang sering diangkat-angkat karena jurang perbadaan sosial ekonomi.

Dunia atau peradaban barat selalu dihubungkan dengan kultur rasional, dimana tradisi berpikir kemudian disebut sebagai Progresif, sementara peradaban timur adalah dunia rasa dimana warna spiritualitas lebih dominan atau disebut sebagai kebudayaan Ekspresif. Pembelahan ini paling fenomenal karena akibatnya adalah hegemoni sebuah kebudayaan di atas kebudayaan lain sehingga salah satunya menjadi yang lain 'Liyan'.

Ada lagi pembagian menurut belahan (hemisphere) utara dan selatan, utara adalah peradaban yang penuh dengan kemakmuran dimana tingkat kemiskinan rendah sementara hemisphere selatan diwarnai olah angka kemiskinan yang tinggi.

Entah bagaimana modus serupa terjadi juga di kota-kota kecil semacam Kudus dan juga kota kota lain. Kudus seakan dibagi secara geografis ( kebetulan memang di belah oleh sungai Gelis) dan kultural bahkan kelas sosial. Seperti umumnya kisah pengkutuban, dari dua belahan kemudian muncul semacam prasangka sosial.

Apakah semua pembedaan itu dikarenakan otak kita yang nyatanya juga di bagi ke dalam belahan kiri dan kanan? Otak kita juga di bagi ke dalam hemisphere kiri dan kanan dimana otak kanan lebih berfungsi secara holistik, konseptual, estetik sedang otak kiri lebih kepada logika,rasional, sebagai pusat bahasa.

Akan tetapi pelajaran penting yang didapat dari otak adalah otak tidak bekerja seperti yang kita bayangkan, walaupun keduanya otak mengatur masing-masing fungsi tapi keduanya tidaklah bekerja secara terpisah, keduanya bersinergi.

Hal yang sama juga kita temukan pada kearifan China tentang poros Yin dan Yang yang masing-masing saling memiliki unsur lawan.
Dalam dunia filsafat China dikenal konsep dialektika Yin Yang yang berawal di abad ke 4 sebelum masehi. Yin adalah perlambang gelap, wanita, pasif , basah dan membumi dan Yang adalah aktif, terang, kering, surgawi. Yin & Yang adalah kekuatan yang berlawanan dan melengkapi karena di dalam Yin ada unsur Yang dan dalam yang ada unsur Yin.

Filsafat China merumuskan 2 kekuatan dasar yang di alam semesta dipercayai bergabung dalam variasi yang sebanding untuk menghasilkan wujud yang berbeda-beda.
Inti pengertian dari Yin Yang adalah pentingnya keseimbangan antara 2 unsur, ketidak harmonisan menghasilkan pemberontakan, banjir dan penyakit.
( Encarta Ensiclopedia).

Keterbelahan dunia mungkinkah ada tujuannya? Apakah semua itu semacam kesengajaan dari gejala hegemoni suatu kebudayaan? Apakah mungkin ada semacam praktik strategi kebudayaan dimana budaya yang lebih dominan kemudian memaksakan wacana? Dalam ranah akademis sudah benarkah definisi-definisi pembagian itu? Semoga semuanya hanya berhenti pada tingkat abstraksi dan hanya berguna sebagai alat demi meningkatkan martabat kemanusiaan itu sendiri, di tengah centang prenang sistem nilai, kekuasaan politik internasional yang tidak proporsional, lingkaran setan kebodohan di negeri miskin dan demi segala kebaikan yang mestinya di perjuangkan.

0 komentar Senin, 13 Oktober 2008

POTENSI
Jawa Tengah semestinya sudah pantas mengadakan hajatan Biennale, melihat infrastruktur pendidikan Seni Rupa yang ada misalnya UNS dengan Jurusan Seni Rupa, ISI Surakarta,UNES, sekian lembaga pendidikan Swasta. Tidak diragukan lagi bahwa di dalam institusi ini berdiam pemikir-pemikir seni dengan keluaran baru sarjana seni tiap tahunnya. Disamping itu banyak komunitas seni di daerah salah satunya contoh yang terkenal adalah komunitas merapi, yang baru saja mengadakan festival tahunan Lima Gunung dengan melibatkan komunitas-komunitas seni di sekitarnya.

Jawa Tengah mengandung potensi seniman perupa berkualitas, hal ini juga dilihat oleh pengelola Galery seni Langgeng di Magelang. Juga kawasan Semarang yang akhir-akhir ini menampakkan geliat perupanya untuk eksis dalam tingkat nasional. Belum wilayah Surakarta dan sekitarnya yang sebagian perupanya telah mewarnai wacana seni rupa Tanah air. Juga perupa-perupa kawasan utara Jawa Tengah yang konon sempat terlupakan bahkan dalam peta seni rupa sekelas Jawa Tengah, sebenarya senantiasa gelisah mengenai eksistensi.

Lihat bagaimana perkembangan seni multi media di kawasan Jawa Tengah bagian barat, kawasan sekitar Banyumas, pekerja seninya fasih berkarya dalam media film digital dan banyak mengangkat isu lokal. Walaupun berbentuk film cerita kesadaran dan kepercayaan mereka terhadap media film sangat dekat dengan bentuk ekspresi seni multi media.

PERAN TAMAN BUDAYA
Taman Budaya Jawa Tengah yang kini berada Di Surakarta dulu TBS adalah Lembaga yang punya tanggung jawab besar, terutama terhadap perkembangan kesenian di Jawa Tengah.
Pada saat Surakarta tengah melakukan pembenahan besar-besaran terhadap paradigma pembangunannya juga pengembangan infrastruktur yang berbasis pada kebudayaan, TBJT bisa berperan lebih untuk memacu perkembangan wacana seni rupa pada tingkat Jawa Tengah. Dalam hal ini Penyelanggara Biennale sudah semestinya ada pada tangan TBJT dengan dukungan
lembaga-lembaga lain yang berkompeten.

Narasumber yang ada mestinya sudah memenuhi kalaupun kurang katakanlah untuk pengalaman kurasi setingkat biennale bisa bekerjasama dengan kurator profesional. Hal yang sama juga dilakukan pada Biennale Jawa Timur bahkan sudah dua kali event yang sama diselenggarakan,demikian juga pada Biennale Bali. Sangat dimungkinkan untuk menimba pengetahuan dari Taman Budaya Yogyakarta.

BENTUK dan FUNGSI
Bentuk penyelenggaraan sering memicu polemik, sejarah Biennale di Indonesia bisa menjadi contoh; Desember Hitam, Pameran Binal Seni Rupa di Jogja juga gerutuan perupa yang tidak terakses.Rumusan penyelenggaraan harus sudah jelas sejak awal dan mengkomunikasikan ke publik adalah permasalahan yang tidak kurang sulitnya karena seringkali masalah terjadi karena salah pengertian.

Biennale untuk Jawa Tengah mestinya memiliki kadar yang berbeda, adanya aspek pembelajaran dengan tidak mengesampingkan bobot Event, penekanan pada lokalitas yang artinya lingkup yang terbatas Jawa Tengah. Hal ini
diperlukan guna mematangkan sikap berkesenian publik Jawa Tengah.
Juga sekaligus menjadi alat tolok ukur sejauh mana pencapaian Wajah Seni rupa Jawa Tengah.

Membangun kesadaran 'pasar Wacana' yang artinya sikap dan pemikiran berkesenian adalah masalah penting selain sisi pasar karena walau bagaimanapun membentuk pasar melalui wacana adalah jalan yang lebih baik demi terbentuknya dinamika kreatif.
Dengan demikian diharapkan terbentuk atmosphere berkesenian sehat dan kreatif.

0 komentar Selasa, 07 Oktober 2008







Jamak diketahui bahwa seseorang akan selalu dikaitkan dengan tempat dimana dia tinggal, karena tempat atau domisili adalah lingkungan kehidupan. Sebuah lingkungan dimana kemudian seseorang akan dipengaruhi karakter, gaya, pandangan hidup, sikap dan nilai-nilai yang dianut bahkan tanggung jawabnya. Studi dalam kesenian terutama menyangkut subyek seniman akan ada metode untuk melacak jejak kecenderungan kreatif seseorang berdasar pada sejarah atau latar belakang hidupnya. Dimana saja tempat dalam sejarah hidupnya seseorang pernah tinggal akan menjadi rujukan karena Sejarah hidup seseorang adalah juga perkara lingkungan kehidupan/ masyarakat yang kemudian sampai sejauh mana mempengaruhi wujud karya karyanya.’ Para pencipta , mengalami banyak hal. Pertemuan dengan nilai-nilai sosialnya, dengan seniman-seniman lain dan bagaimana dia terus melahirkan karya-karya dari pertemuan itu. Pertemuan di dalam perjalanan dan bagaimana dia menemukan’.(Garin Nugroho, katalog Bienalle IX Yogyakarta).

Lingkungan kehidupan manusia pasti bukan sekedar daerah, semacam kota atau desa juga bukan hanya sekedar konsep ekosistem. Lingkungan kehidupan adalah hal kesadaran, semacam relasi subyek terhadap obyek, subyek dengan subyek. Bagi seorang seniman adalah sama saja dengan usaha untuk memaknai secara terus menerus, sebuah upaya menafsir diri dan lingkungannya.

Lingkungan kehidupan dalam matra waktu menjadi demikian dinamis karena selalu ada peristiwa. Peristiwa menghasilkan perubahan. Perubahan-perubahan ini terjadi karena bermacam alasan entah itu karena persoalan tata nilai, fluktuasi ekonomi, keputusan politik dan lain-lain. Selain beberapa hal seakan bersifat cenderung tetap terutama dalam hal-hal yang lebih bersifat mendasar. Misalnya nilai-nilai religius formal yang pada kenyataannya telah menjadi bagian dari karakter dalam hal ini adalah masyarakat Kudus sendiri.

Kudus adalah sebuah lingkungan kehidupan dimana di dalamnya bersemayam citra religius sesuai dengan pendapat Dr. R. Ng. Poerbatjaraka yang menyebutkan, di seluruh pulau Jawa, hanya ada satu tempat saja yang diberi nama dengan bahasa Arab, yaitu Kudus yang berarti Suci. Itulah keistimewaan kota Kudus yang masyarakatnya pada umumnya memiliki keyakinan terhadap agama islam yang kuat sekali (Ensiklopedi Islam, 1997/1998).

Secara geografis terletak di sebelah selatan kaki gunung Muria, yang memiliki karakter sendiri karena merupakan daerah pegunungan di pesisir utara pulau Jawa. Kudus kota sendiri dibelah oleh sungai Gelis yang mengalir ke selatan hingga membagi kota Kudus menjadi, Kudus Kulon yang terletak di sebelah barat dengan Kudus Wetan yang terletak di sebelah timur. Peninggalan sejarah yakni Menara Kudus yang berdampingan dengan Al-Masjid Al-Aqsha terletak di sebelah barat.

Kudus sendiri adalah kota yang bersejarah panjang yang tidak bisa dipisahkan dengan pendirinya yaitu Raden Ja’far Shadiq atau lebih dikenal sebagai Sunan Kudus yang adalah salah satu penyebar agama Islam di pesisir Jawa. Beberapa ritus atau kebiasaan yang berhubungan dengan Sunan ada didalamnya, misalnya pantangan untuk menyembelih sapi (sikap toleransi kepada penganut Hindu yang mensucikan sapi) dan upacara Haul Sunan Kudus semacam ritus upacara penggantian kain penutup makam Sunan. Dengan latar belakang demikian di seluruh pelosok Kudus terdapat banyak Pondok Pesantren .Hal ini membentuk citra yang berkarakter santri muslim kuat.

Selain itu Kudus dipersepsikan sebagai sebuah kota di Jawa Tengah yang memiliki ciri sosial ekonomi yang khas. Rokok , jenang, soto, bordir dan beberapa produk lain akan dengan mudah membawa imajinasi seorang tentang Kudus. Ada pandangan gusjigang, orang yang memenuhi kriteria bagus (bagus perilakunya), pinter ngaji (menguasai keilmuan) dan pinter dagang( terampil berdagang). Tiga hal itu menjadi semacam ciri yang melekat dalam diri Wong Kudus ( Kudus Kota Kretek, Maesah Anggni). Inikah kunci etos kerja warga Kudus yang tersohor itu? Sehingga membentuk ciri masyarakat santri muslim dengan tradisi ekonomi industri hingga kemudian konglomerat pertama Indonesia Nitisemito ada dan lahir di Kudus. Adanya kaum saudagar kemudian memicu lahirnya bentuk-bentuk arsitektur yang khas. Arsitektur bukan sekedar rumah tetapi juga sebuah kawasan berikut tata letaknya yang sekarang masih kita lihat dan ternyata bersama bentuk-bentuk budaya lain secara nyata tengah mengalami perubahan.

Kebudayaan adalah dinamika itu sendiri, karakter kultur pesisir yang konon terbuka terhadap pengaruh penetrasi kebudayaan dari luar mestinya menghasilkan dampak. Jika demikian apakah transformasi itu ada dan sedang terjadi di Kudus? Jika ada tranformasi sosial atau bahkan kebudayaan, sejauh manakah penetrasi terjadi? Bagaimanakah bentuk-bentuk tranformasi itu?

Jadi hendak ditegaskan bahwa, Kudus memiliki suatu entitas nilai dimana bisa saja ia telah menjadi icon kuat atau berupa gejala yang kemudian melahirkan tanda. Diantaranya adalah hipotesa mengenai transformasi itu sendiri, kebiasaan (adat), pola perilaku,sistem nilai, gaya hidup atau kecenderungan Trend. Gejala itu bisa saja tampil berupa peristiwa sehari-hari atau bahkan berbalut konflik antara sistem nilai dan tanda. Pengungkapan pada segi-segi terdalam diharapkan memunculkan gambaran kritis namun utuh dan apa adanya mengenai Kudus. Sehingga pada akhirnya akan memperkaya kazanah estetika pada lembaran budaya kontemporer.

Komunitas PAKU Kudus 24-1-08