Senin, 03 November 2008





Penghormatan dan harapan mungkin penyederhanaan yang terselip dalam segala ritus tradisiNusantara. Kesombongan manusia ternyata terkalahkan oleh hal-hal yang kemudian dianggap di luar jangkauan.Karena itu nenek moyang kemudian dengan rendah hati bersikap hormat terhadap leluhur, mata air atau segala hal peninggalannya.

Soal leluhur adalah soal eksistensial, dimana di dalamnya berisi soal asal muasal, tanggung jawab dan arah kehidupan. Mungkin sudah takdirnya bagi kita untuk merasa jeri bahkan terasing ketika kita tidak bisa menemukan jawaban dari mana asal kita. Bukankah sebenarnya seluruh peradaban kita bernyanyi diatas panduan tangga nada 'dari mana kita berasal?', 'mau apa kita sekarang?' dan 'setelah ini kita akan kemana?'.

Nenek moyang manusia Jawa mengerti betul tentang sebab akibat. Bahwa keberadaan mereka karena sebab -sebab tertentu. Bahwa kehidupan itu penuh resiko, bahkan dalam bentuk tertentu penuh bahaya sehingga dibutuhkan pemahaman yang baik pada hal-hal yangtidak dimengerti sepenuhnya. Pada titik inilah nilai Takdir dipahami.

Upacara Sedekah Bumi di Rejosari, tepatnya di Kecamatan Dawe, Kudus, tentu tidak sedang ingin mengendalikan takdir. Walaupun mereka yang sebagian besar petani itu menginginkan panen hasil ladang dan sawah mereka melimpah pada musim depan. Ritual yang setahun sekali diadakan menjelang bulan besar ( kalender Jawa) tidak juga tengah berandai-andai lewat kisah pada pagelaran wayang kulit saat tengah hari.

Tapi lebih dari sikap hormat dan doa adalah rasa syukur. Pagelaran itu di gelar
di lokasi sumber mata air ( belik ) desa yang nun di tengah rerimbun pohon. Tempat yang dianggap suci, sakral, keramat karena air adalah sumber kehidupan, sumber asal muasal kehidupan desa dan tentunya adalah cikal bakal atau 'sebab' itu sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar