0 komentar Selasa, 02 Desember 2008

Semangat Berkesenian
Hidup berkesenian entah mengapa selalu berurusan dengan semangat /spirit, kata yang nyaris latah dan hampir selalu di ucapkan oleh banyak orang.
Spirit di asumsikan sebagai obat tatkala kita kehabisan tenaga jadi spirit menjadi entitas yang terpisah dari kehidupan.Tapi bukankah spirit adalah hidup itu sendiri?

Dalam hal pilihan hidup seseorang pastilah telah menetapkannya atau setidak tidak telah memikirkannya, soal karena keterpaksaan atau apalagi adanya kesempatan memilih , pastilah visinya tidak akan jauh-jauh. Entah karena lingkungan pergaulan, bakat atau cita-cita, dengan kata lain ada sebentuk prakondisi dimana pada akhirnya seseorang menetapkan sesuatu adalah pilihan atau menjadi bagian dari hidupnya.

Kita semua adalah orang-orang yang telah memilih bahwa Kesenian adalah pilihan kita. Dalam asumsi bahwa sebagian atau seluruh waktu, daya dan pikiran kita hendak menuju ke sebuah dunia yang di sebut Kesenian. Bukan perkara kita hendak total atau setengah-setengah atau bahkan hobi sekalipun. Rasanya naif menuntut seseorang untuk bersikap idealis sejati dimana hampir semua hajat hidup kita tercurah pada apa yang jadi impian kita.

Tidak bermaksud membahas soal spirit/semangat lewat rujukan atau sudut pandang filsafat ini itu, pengertian semangat dalam hal ini terutama dibatasi pada 'semangat berkesenian' yang rupanya menuju ke arah yang belum pasti. Komunitas PAKU (Perupa Kudus ) sendiri sekarang kita akui sedang suam- suam kuku, berbagai agenda pameran yang pernah di rencanakan berkali-kali kenyataannya harus kandas. Dua kali pameran rupanya sudah cukup bagi PAKU untuk berpikir lebih jauh, entah itu pameran yang bersifat kuratorial atau pameran yang tidak hanya bersifat lokal.

Sebagai Komunitas Perupa yang mau tidak mau kiprahnya telah mewarnai sejarah Kesenian Kudus, telah merasakan kebuntuan dalam arah perkembangan kesenian Kudus.
Tidak ada greget atau wacana yang jelas, baik itu secara konsep atau konkrit bentuknya.
Bagi PAKU sendiri bahkan semangat dalam berkarya keadaannya sedikit demi sedikit bergerak mendekati garis horisontal walaupun tidak keseluruhan. Walau di luar seni rupa terutama seni teater sedang bergairah, sayangnya kegairahan itu tidak mengimbas pada bidang seni lain . Di sini rupanya kita menemukan dua hal, semangat berkesenian yang kurang bergairah dan belum ada ( kebutuhan ) wacana kesenian yang cukup kuat yang membuat kesenian Kudus mengalami babak baru dalam perkembangan sejarah keseniannya.

Romantisme Semangat Masa Silam
Untuk melihat permasalahan menjadi lebih jelas ada baiknya kita melihat gambaran kesenian Kudus di masa lalu. Kesenian Kudus sejak tahun 60 an di tandai dengan bermunculannya sanggar-sanggar seni ( sumber, anggota/pelaku seni) yang multi jenis.Bahkan sebuah sanggar saat itu adalah tempat berkumpulnya peminat seni dari berbagai cabang kesenian, ada seni teater, tari, baca puisi dan melukis.

Akhir 60 an lahir HSBI ( Himpunan Seni Budaya Islam ) hingga sekarang, aktifitasnya tidak hanya bersifat lokal, kemudian Gema Budaya, Caka Budaya, Cikal Bakal hingga Akrab , Merah Putih, Lembaga Kaligrafi dan Kuas.Pada Gema Budaya anggotanya terdiri dari Pemusik, pelukis, teatrawan. Pada saat itu keadaannya serba terbatas, sanggar tidak selalu memiliki fasilitas lengkap bahkan lebih sering anggota sendiri yang membawa peralatan.
Jangan berpikir untuk bermain musik mereka akan berlatih dengan peralatan lengkap sebuah set Band seperti sekarang, dengan beberapa gitar dan satu atau lebih penyanyi sudah cukup untuk membentuk apa yang biasa disebut sebagai Vocal Group. Untuk pelukis, peralatan dan bahan tidak semudah sekarang, seringkali cat harus diramu sendiri.

Saat itu antar kelompok seni terjalin komunikasi yang baik, latihan dan pentas bersama sering dilakukan. Antar penggiat seni saling kenal satu sama lain. Kegiatan dijalankan dengan semangat untuk tampil walaupun apa adanya, dana merogoh kantung sendiri adalah hal biasa.

Bagi mereka saat itu yang dinanti adalah saat pentas atau pameran. Pameran adalah puncak aktifitas mereka, penonton yang apresiatif rasanya sudah sangat membanggakan hati. Pernah karena suatu keadaan mereka berpameran lukisan tidak memakai sketsel pada umumnya tapi memakai bahan 'gedeg' (bahan dinding dari anyaman bambu).
Tidur dan menjaga stand di ruang pameran adalah pekerjaan yang menyenangkan. Perasaan merdeka, senasib dan sepenanggungan begitu kuat hingga akhir perhelatan.

Perubahan Orientasi
Di penghujung dekade 80 an terjadi Booming Lukisan ( Sanento Yuliman), harga lukisan meroket hampir tidak masuk di akal. Bukan hanya terjadi pada lukisan pelukis papan atas tapi juga pada lukisan pelukis muda. Segala tolok ukur tentang kemaestroan seakan rubuh, kolektor, kolekdol dan agen menyerbu dengan harga gila-gilaan. Mereka rela menunggu berlama-lama di studio sang seniman yang lagi naik daun. Bahkan fenomena ini sempat disinyalir berulang di akhir 90 an, sebagai booming ke II.

Sengaja di ciptakan?, kemakmuran yang meningkat ? Kebutuhan akan status sosial? Adalah sederet hipotesis yang pernah malang melintang di mass media, seminar, forum diskusi.Yang jelas keadaan mengesankan pasar Seni Lukis sedang hebat, banyak peluang yang tengah kosong, lukisan apapun dari siapapun akan laku. Banyak pelukis jadi kaya mendadak yang kemudian menjadi kalangan elit baru berikut segenap gaya hidup baru.

Sejak saat itu beramai-ramailah para pelukis muda, calon pelukis, para petualang , kaum oportunitis hingga mavia lukisan bermunculan, tujuannya satu menjadi kaya.
Tolok ukur sukses pameran adalah banyaknya lukisan yang laku. Sah -sah saja tujuan seperti itu apalagi Kalau di barengi dengan kualitas yang dapat di andalkan.
Masalahnya adalah perubahan atmosfer berkesenian ke arah orientasi nilai ekonomi semata. Yang pada babak selanjutnya merubah orientasi berkesenian hampir pada semua skala dan tingkat lebih kecil. Gayung pun bersambut situasi sosial politik yang semakin sektarian dan chaotic terutama pasca reformasi, ditingkahi oleh badai krisis ekonomi yang seakan tak berujung.

Sikap Berkesenian
Dengan demikian keadaan sekarang menjadi berbeda dari masa lalu, demokratisasi politik menghimbas pada semua segi termasuk ekspresi seni berikut campur tangan dunia politik, bahkan gejala politik kekuasaan di kalangan pekerja seni sendiri. Kelompok kesenian yang di masa lalu adalah sanggar yang guyup oleh kebersamaan sekarang seperti terpolarisasi. Keadaan demikian masih diiringi oleh tekanan hidup yang semakin keras saja.

Adanya lembaga kesenian Pemerintah pada azasnya adalah mendorong tumbuh kembangnya kesenian. Pekerja seni diharapkan mendapatkan kegairahan berkarya, bersosialisasi hingga kemudian mendapatkan akses ke tingkat yang lebih. peran dan posisi lembaga Kesenian pemerintah adalah menjadi fasilitator walaupun disana sini masih terdapat kekurangan atau belum maksimal.

Tentunya sebagai pekerja seni aktifitas kita tidak menjadi surut begitu saja, tantangan untuk terus melahirkan karya yang baik dan kreatif pastilah ada di benak kita semua. Tulisan FX. Harsono Upaya Mandiri Seni Rupa Pembaharuan ( Kompas, 25 oktober 1992 ), dapat kita simak. Hampir seluruh perupa pembaharuan melakukan kerja di luar penciptaan kesenian mereka yang bersifat individual. Mereka memang tidak bisa hidup dari hasil karya seni mereka, sebagaimana halnya dengan pelukis, pematung atau para desainer. Pada mulanya upaya mensiasati hidup ini tidak disadari sepenuhnya sebagai suatu sikap hidup yang mendasari sikap kesenian, tetapi kemudian muncul kesadaran baru, bahwa kegiatan mencari nafkah dan berkesenian merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Bahkan dirasakan kegiatan mencari nafkah bisa menimbulkan percikan ide kreatif, pengalamaan baru dan penemuan idiom-idiom seni rupa yang baru. Sehingga sikap tersebut kemudian dipeluk sebagai sikap yang mendasari sikap kesenian mereka.

Gerakan Seni Rupa Baru adalah contoh penciptaan wacana yang di landasi oleh sikap berkesenian yang gigih, dengan mengambil resiko yang besar.
Semangat juang mereka dalam memperjuangkan ideologi estetika plural. Ideologi yang berdasar prinsip tujuan meruntuhkan definisi seni rupa yang terkungkung pada seni lukis, seni patung dan seni grafis. Definisi yang berakar pada prinsip artes liberales (liberal Art), dasar acuan high art yang digariskan pada masa renaissance abad XVI. Pandangan yang percaya hanya ada satu kebudayaan (tinggi) dan satu jenis seni rupa sebagai produknya, sebuah prinsip seni universal. Moelyono ( Seni Rupa Penyadaran).
Melalui ideologi estetika Seni Rupa Baru yang secara tegas menolak ideologi estetika universal, kita masih merasakan gemanya bahkan memberi bentuk seni kontemporer Indonesia hingga sekarang.

Kebutuhan wacana dan semangat berkesenian.
Kebutuhan wacana muncul setelah melihat potensi besar yang dimiliki Kudus, adanya lembaga perguruan tinggi, banyaknya kelompok-kelompok kesenian baik itu sastra, teater, seni rupa, tari dan musik. Selain itu banyak pelaku-pelaku seni adalah alumnus perguruan tinggi seni yang nota bene di persiapkan untuk menjadi tidak sekedar kreator tetapi juga seorang konseptor.
Juga adanya potensi seni indigenous yang menjadi klasik , rumah tradisional Jawa Kudus, pakaian adat tradisional yang khas, wayang klithik kentrung dll. Menunjukkan kreatifitas lokal yang melibatkan hasil olah pikir telah ada sejak dahulu.

Sekarang dinamika yang terjadi kemudian bukannya tanpa perkembangan apa-apa.
Konsep Wacana kesenian Kudus juga sempat menjadi polemik, tapi rupanya belum bergerak menjadi aksi yang kemudian melahirkan bentuk /wujud ekspresi kesenian tertentu. Hal ini jelas dibutuhkan karena kesenian juga perkara wujud/ simbol atau bentuk ekspresi, dimana kesenian tersebut mendapatkan eksistensinya.

Lalu mau ke mana kesenian Kudus setelah ini? Akankah potensi kreatif masa lalu itu akan berlalu begitu saja tanpa perkembangan? Benar telah ada 'tari kretek' bentuk tarian lokal yang mengambil inspirasi dari aktifitas pekerja rokok kretek, rokok yang juga adalah temuan asli Kudus. Wacananya sayup-sayup karena masih bergerak di wilayah permukaan.

Kudus adalah kota setingkat kabupaten tapi daya serap tenaga kerjanya termasuk luar biasa itu karena banyaknya industri besar dari yang berteknologi tinggi hingga sederhana. Terbayangkah jika temuan temuan produk elektronik dan teknologi dengan spesifikasi layak dipatenkan di tingkat dunia karena tergolong orisinal ada di sebuah kota kecil semacam Kudus? Itu belum industri skala menengah dan kecil, dimana di situ juga berkumpul ribuan tenaga kerja setingkat buruh hingga kalangan profesional yang sehari-hari adalah sekerup dari mesin kapitalisme. Pertemuan antara warga pendatang dan asli yang kemudian menimbulkan friksi budaya, lahan kosong yang semakin langka karena dimana-mana dibangun perumahan atau ruko / toserba yang kemudian cenderung melahirkan premanisme juga kecenderungan gaya hidup konsumtif, perbedaan status sosial ekonomi yang semakin tajam, rusaknya lingkungan alam karena polusi dan penebangan hutan di gunung Muria yang banjir air bahnya masih segar di ingatan hingga semakin banyaknya kaum yang terpinggirkan.

Bukankah Kudus adalah laboratorium seni yang sesungguhnya? Dan hampir semua perkara sosial, politik, ekonomi, antropologi, psikologi dan kelestarian alam ada di sini? Pekerja seni kelas juara pasti bergairah jiwanya karena melihat begitu banyak yang bisa dikerjakan karena dia akan menemukan banyak hal.
Lalu kenapa kesenian seperti adem ayem? Seakan menutup mata dan telinga pada fenomena yang terjadi hanya sejengkal di dekat kita?

wujud
Kalau ada buruh dari 8 pabrik di Jakarta-Bogor-Bekasi, ramai berpentas teater di Bandung yang diisi dengan pembacaan puisi, paduan suara dan berjoget bersama. Moelyono, (Seni Rupa Penyadaran, sub bab Buruh dan kesenian). Kita juga pasti lebih bisa, Dan itu hanya salah satu contoh saja.

Lalu di seni rupa juga belum nampak geliat itu karena selama ini belum pernah ada
Penyelenggaraan event pameran yang terkurasi dengan memakai wacana tertentu.
Pameran lebih menjadi ajang kegiatan yang lebih menekankan pada nilai kebersamaan.
Tema pameran juga masih bebas dalam arti setiap karya adalah masih tema-tema yang telah setia dan sekian lama digelutinya.

Rasanya tidaklah terlalu muluk seandainya ada kolaborasi antar kelompok seni yang sifatnya malah lintas disiplin. Seni rupa dalam hal ini Komunitas Paku ( Perupa Kudus) membuka diri terhadap rencana-rencana ke depan mengenai masa depan kesenian Kudus. Bukanlah tanpa alasan karena kecenderungan untuk bekerja bersama dalam sebuah event katakanlah sempat tersirat dan menggalang kebersamaan adalah cara yang dibutuhkan demi menyikapi perkembangan sekarang. Kalau Paku menangkap gejala seperti ini rasanya juga tidak salah kalau seandainya kemudian melontarkan ide, uneg-uneg atau bahkan impian.

Tentang penyelenggaraan semacam Pesta Kesenian, dimana organisasi kepanitiaan dibentuk oleh penggiat seni sendiri berikut segala macam tetek bengek penyelenggaraanya. Dan penyelenggaraan di andaikan ada di alun-alun di mana publik dari mana pun mudah mengaksesnya. Di panggung para penggiat seni pertunjukan mementaskan lakon yang mungkin juga berkolaborasi dengan pemusik atau sastrawan.
Senirupawan yang kepingin berakting bisa melakukan Performance Art, Happening Art atau pameran lukisan. Seni patung yang selama ini terpingit dalam ruang pamer atau studio bisa menjadi enviromental scluptur, berdiri di ruang terbuka.

Pada gilirannya nanti bukanlah impian jika Festival Kesenian Kudus akan terselenggara yang medannya mungkin tidak hanya berhenti bersifat lokal tapi kemudian berkembang menjadi ajang unjuk seni kawasan Pantura. Mengingat kedekatan kultur dan komunikasi antar penggiat seni yang sekarang pun sudah terlihat. Kenapa kita kalah dengan Jember yang punya Jember Fashion Festival yang nyaris jadi budaya?
Soal wacana pasti bisa dipikirkan sambil jalan karena banyak intelektual seni yang akan sanggup melakukan riset dan ada diantaranya yang punya semangat tinggi dan mempercayai bahwa kesenian adalah agen perubahan kebudayaan.

Jadi dengan demikian mudah-mudahan akan terbentuk atmosfer baru dalam berkesenian di Kudus, bukan karena wacana yang muluk-muluk tapi karena pembelajaran yang terjadi pasti juga luar biasa. Setiap penggiat akan belajar cara dan proses budaya kerja masing-masing disiplin atau kelompok berikut kesulitan, proses kreasi, penggalangan dana hingga manajemen kesenian. Ada niat ada jalan! Syaratnya adalah ada forum dimana para penggiat seni bisa berkumpul dan merasa memiliki tujuan yang sama, berjiwa independen, memahami satu sama lain, berpikir, berdiskusi, ikhlas dan berjiwa besar. Bahwa tidak ada satu golongan seni lebih tinggi dari yang lain semua sederajat.
Sekali lagi itu semuanya hanyalah unek-unek, gagasan atau impian.
Selamat bekerja! Salam Budaya!


Komunitas Perupa Kudus ( PAKU). 26 nov-06
Pernah menjadi bahan diskusi seluruh komunitas Seni di Kudus pada November 2006

0 komentar Senin, 03 November 2008





Penghormatan dan harapan mungkin penyederhanaan yang terselip dalam segala ritus tradisiNusantara. Kesombongan manusia ternyata terkalahkan oleh hal-hal yang kemudian dianggap di luar jangkauan.Karena itu nenek moyang kemudian dengan rendah hati bersikap hormat terhadap leluhur, mata air atau segala hal peninggalannya.

Soal leluhur adalah soal eksistensial, dimana di dalamnya berisi soal asal muasal, tanggung jawab dan arah kehidupan. Mungkin sudah takdirnya bagi kita untuk merasa jeri bahkan terasing ketika kita tidak bisa menemukan jawaban dari mana asal kita. Bukankah sebenarnya seluruh peradaban kita bernyanyi diatas panduan tangga nada 'dari mana kita berasal?', 'mau apa kita sekarang?' dan 'setelah ini kita akan kemana?'.

Nenek moyang manusia Jawa mengerti betul tentang sebab akibat. Bahwa keberadaan mereka karena sebab -sebab tertentu. Bahwa kehidupan itu penuh resiko, bahkan dalam bentuk tertentu penuh bahaya sehingga dibutuhkan pemahaman yang baik pada hal-hal yangtidak dimengerti sepenuhnya. Pada titik inilah nilai Takdir dipahami.

Upacara Sedekah Bumi di Rejosari, tepatnya di Kecamatan Dawe, Kudus, tentu tidak sedang ingin mengendalikan takdir. Walaupun mereka yang sebagian besar petani itu menginginkan panen hasil ladang dan sawah mereka melimpah pada musim depan. Ritual yang setahun sekali diadakan menjelang bulan besar ( kalender Jawa) tidak juga tengah berandai-andai lewat kisah pada pagelaran wayang kulit saat tengah hari.

Tapi lebih dari sikap hormat dan doa adalah rasa syukur. Pagelaran itu di gelar
di lokasi sumber mata air ( belik ) desa yang nun di tengah rerimbun pohon. Tempat yang dianggap suci, sakral, keramat karena air adalah sumber kehidupan, sumber asal muasal kehidupan desa dan tentunya adalah cikal bakal atau 'sebab' itu sendiri.

0 komentar Selasa, 28 Oktober 2008

file lama, 2007

Latar Belakang
Bermula dari keinginan untuk mengadakan pameran dengan suasana dan semangat serba baru sehingga harapannya memunculkan bentuk-bentuk ekspresi seni rupa yang berisi ide-ide segar dan kreatif, maka diperlukan semacam ruang dimana perupa memiliki peluang untuk bereksperimen.
Ruang ini menjadi semacam media perantara atau semacam prakondisi karena untuk menemukan bentuk-bentuk ekspresi yang dianggap baru dan berwacana terutama bagi Komunitas PAKU yang sebelumnya telah memiliki adab berkesenian yang mapan tidaklah bisa serta merta.

Harapan untuk menemukan bentuk-bentuk ekspresi yang lebih kontemporer diperlukan demi semangat pencarian akan nilai-nilai baru sehingga mampu menerobos kebekuan yang selama ini menghinggapi Komunitas.
Baru dalam hal ini menurut skalanya, tidak berniat untuk terlalu muluk dengan mengikutkan Komunitas pada isue-isue berskala Nasional bahkan global atau yang konon kontekstual.

Gairah untuk serba baru hanya untuk mengobati dahaga dari kekeringan saja. Pemenuhan pada Ekspektasi prestasi adalah hal yang paling asasi karena dia adalah bentuk dari kehendak untuk Survive.

Ekologi pantai sebagai ruang
Ruang lingkup pantai adalah tempat yang menarik, kombinasi yang sempurna antara air, pasir, tanah, batu dan tetumbuhan bahkan angin.
Karakter yang khas dengan materi yang memiliki kemudahan kemungkinan untuk di akses dan dibentuk. Permainan patung-patung pasir sudah sangat di kenal bahkan event demikian menjadi subyek yang serius.
Tanah dan bebatuannnya juga menjadi media bagi Robert Smithsons salah satu tokoh Earthwork (Gerakan yang mendorong kerjasamadengan alam dalam satu karya seni) dalam karyaSpiral Jetty (1970) sebagai contoh.

Bagi kita komponen alam pantai pasti menantang untuk di ekspoitasi karena media ini bagi Komunitas terbilang baru juga dari segi event.Kreatifitas kita akan sangat ditantang dalam menciptakan karya dengan media terbatas di sekitar pantai atau hal-hal yang terkait langsung dengan budaya maritim misalnya perahu, jaring, bubu dll.

Tema kita bisa bebas mengangkat wacana apa saja, hanya perlu dipertimbangkan relasi antara wacana dengan elemen visual. Jangan sampai kedodoran, konsep tidak nyambung dengan elemen visual hal yang khas terjadi menurut hemat kita. Jangan lupa segi Artistik mestinya tetap dikedepankan demi menghindari keterjebakan menjadi seni sampah.

Yang jelas kegiatan ini berfungsi sebagai media antara semacam latihan bagi kita tapi bisa juga menjadi sesuatu yang serius terutama pada aspek sejarah perkembangan Seni Rupa Kudus.
Demikian semoga semangat berkesenian dan pencarian kita tidak lekas kendor.



29 juni 07

0 komentar Minggu, 26 Oktober 2008

DUNIA YANG TERBELAH Tema kuratorial Komunitas PAKU

Kita hidup di dunia dimana perbedaan adalah realitas yang sudah dijejal sejak awal kelahiran, di Indonesia sendiri kenyataan bahwa ada bermacam-macam suku bangsa dan bahasa dan tinggal di kepulauan yang banyak dan terpencar-pencar adalah semacam makanan pokok karena selalu kemudian dikaitkan dengan kekayaan bangsa.

Dunia selalu lebih rumit dari pada tampaknya atau malah lebih sederhana, mengenai keaneka ragaman yang sedemikian rupa malah sering pada akhirnya kita anggap satu atau lebih. Muncul sebagai Jargon politik, definisi seadanya dalam artikel-artikel populer atau semacam pola yang menetap dalam otak kita karena terbiasa berpikir serba hitam dan putih? Tapi begitulah keadaannya, dunia yang tidak sederhana akan lebih gampang untuk kita pahami jika kita bagi-bagi. Jadi gambaran semacam itu hanya ada di dalam benak atau angan-angan kita.

Saat ini yang konon sering disebut sebagai era kontemporer dimana kepribadian Lebih sering disangkut pautkan dengan pekerjaan atau pekerjaan mencerminkan kepribadian tertentu, kita akan menemui sekian banyak orang dengan kepribadian terbelah. Kalau memang sebuah pekerjaan atau katakanlah profesi atau karir adalah sebuah dunia maka mereka yang saat siang adalah guru terhormat kemudian saat malam menarik ojek adalah orang yang berada di dua dunia, bukankah tidak sedikit orang yang demikian ini sekarang?

Mengherankan, jika dalam benak kita pun ada semacam kegandrungan terhadap perbedaan atau semacam pemisahan antara unsur satu dengan atau berlawanan dengan unsur lain. Malahan pembedaan telah lama kita idap dan kemudian menjadi semacam pola pikir. Seakan-akan kita akan lebih mengenal dunia jika kita kemudian membuat dikotomi atau pembedaan-pembedaan dan juga melawankannya.

Di Indonesia pasti kita akan menemukan istilah Pribumi dan Nonpribumi. Istilah ini demikian populer sehingga rongga kesadaran kita seakan hanya melihat dua hal dalam melihat komposisi penduduk Indonesia.
Lihat juga kenyataan bagaimana peta dunia seakan dibedakan dalam kutub barat dan timur yang lebih menunjuk pada perbedaan garis budaya, politik, kemudian utara dan selatan yang sering diangkat-angkat karena jurang perbadaan sosial ekonomi.

Dunia atau peradaban barat selalu dihubungkan dengan kultur rasional, dimana tradisi berpikir kemudian disebut sebagai Progresif, sementara peradaban timur adalah dunia rasa dimana warna spiritualitas lebih dominan atau disebut sebagai kebudayaan Ekspresif. Pembelahan ini paling fenomenal karena akibatnya adalah hegemoni sebuah kebudayaan di atas kebudayaan lain sehingga salah satunya menjadi yang lain 'Liyan'.

Ada lagi pembagian menurut belahan (hemisphere) utara dan selatan, utara adalah peradaban yang penuh dengan kemakmuran dimana tingkat kemiskinan rendah sementara hemisphere selatan diwarnai olah angka kemiskinan yang tinggi.

Entah bagaimana modus serupa terjadi juga di kota-kota kecil semacam Kudus dan juga kota kota lain. Kudus seakan dibagi secara geografis ( kebetulan memang di belah oleh sungai Gelis) dan kultural bahkan kelas sosial. Seperti umumnya kisah pengkutuban, dari dua belahan kemudian muncul semacam prasangka sosial.

Apakah semua pembedaan itu dikarenakan otak kita yang nyatanya juga di bagi ke dalam belahan kiri dan kanan? Otak kita juga di bagi ke dalam hemisphere kiri dan kanan dimana otak kanan lebih berfungsi secara holistik, konseptual, estetik sedang otak kiri lebih kepada logika,rasional, sebagai pusat bahasa.

Akan tetapi pelajaran penting yang didapat dari otak adalah otak tidak bekerja seperti yang kita bayangkan, walaupun keduanya otak mengatur masing-masing fungsi tapi keduanya tidaklah bekerja secara terpisah, keduanya bersinergi.

Hal yang sama juga kita temukan pada kearifan China tentang poros Yin dan Yang yang masing-masing saling memiliki unsur lawan.
Dalam dunia filsafat China dikenal konsep dialektika Yin Yang yang berawal di abad ke 4 sebelum masehi. Yin adalah perlambang gelap, wanita, pasif , basah dan membumi dan Yang adalah aktif, terang, kering, surgawi. Yin & Yang adalah kekuatan yang berlawanan dan melengkapi karena di dalam Yin ada unsur Yang dan dalam yang ada unsur Yin.

Filsafat China merumuskan 2 kekuatan dasar yang di alam semesta dipercayai bergabung dalam variasi yang sebanding untuk menghasilkan wujud yang berbeda-beda.
Inti pengertian dari Yin Yang adalah pentingnya keseimbangan antara 2 unsur, ketidak harmonisan menghasilkan pemberontakan, banjir dan penyakit.
( Encarta Ensiclopedia).

Keterbelahan dunia mungkinkah ada tujuannya? Apakah semua itu semacam kesengajaan dari gejala hegemoni suatu kebudayaan? Apakah mungkin ada semacam praktik strategi kebudayaan dimana budaya yang lebih dominan kemudian memaksakan wacana? Dalam ranah akademis sudah benarkah definisi-definisi pembagian itu? Semoga semuanya hanya berhenti pada tingkat abstraksi dan hanya berguna sebagai alat demi meningkatkan martabat kemanusiaan itu sendiri, di tengah centang prenang sistem nilai, kekuasaan politik internasional yang tidak proporsional, lingkaran setan kebodohan di negeri miskin dan demi segala kebaikan yang mestinya di perjuangkan.

0 komentar Senin, 13 Oktober 2008

POTENSI
Jawa Tengah semestinya sudah pantas mengadakan hajatan Biennale, melihat infrastruktur pendidikan Seni Rupa yang ada misalnya UNS dengan Jurusan Seni Rupa, ISI Surakarta,UNES, sekian lembaga pendidikan Swasta. Tidak diragukan lagi bahwa di dalam institusi ini berdiam pemikir-pemikir seni dengan keluaran baru sarjana seni tiap tahunnya. Disamping itu banyak komunitas seni di daerah salah satunya contoh yang terkenal adalah komunitas merapi, yang baru saja mengadakan festival tahunan Lima Gunung dengan melibatkan komunitas-komunitas seni di sekitarnya.

Jawa Tengah mengandung potensi seniman perupa berkualitas, hal ini juga dilihat oleh pengelola Galery seni Langgeng di Magelang. Juga kawasan Semarang yang akhir-akhir ini menampakkan geliat perupanya untuk eksis dalam tingkat nasional. Belum wilayah Surakarta dan sekitarnya yang sebagian perupanya telah mewarnai wacana seni rupa Tanah air. Juga perupa-perupa kawasan utara Jawa Tengah yang konon sempat terlupakan bahkan dalam peta seni rupa sekelas Jawa Tengah, sebenarya senantiasa gelisah mengenai eksistensi.

Lihat bagaimana perkembangan seni multi media di kawasan Jawa Tengah bagian barat, kawasan sekitar Banyumas, pekerja seninya fasih berkarya dalam media film digital dan banyak mengangkat isu lokal. Walaupun berbentuk film cerita kesadaran dan kepercayaan mereka terhadap media film sangat dekat dengan bentuk ekspresi seni multi media.

PERAN TAMAN BUDAYA
Taman Budaya Jawa Tengah yang kini berada Di Surakarta dulu TBS adalah Lembaga yang punya tanggung jawab besar, terutama terhadap perkembangan kesenian di Jawa Tengah.
Pada saat Surakarta tengah melakukan pembenahan besar-besaran terhadap paradigma pembangunannya juga pengembangan infrastruktur yang berbasis pada kebudayaan, TBJT bisa berperan lebih untuk memacu perkembangan wacana seni rupa pada tingkat Jawa Tengah. Dalam hal ini Penyelanggara Biennale sudah semestinya ada pada tangan TBJT dengan dukungan
lembaga-lembaga lain yang berkompeten.

Narasumber yang ada mestinya sudah memenuhi kalaupun kurang katakanlah untuk pengalaman kurasi setingkat biennale bisa bekerjasama dengan kurator profesional. Hal yang sama juga dilakukan pada Biennale Jawa Timur bahkan sudah dua kali event yang sama diselenggarakan,demikian juga pada Biennale Bali. Sangat dimungkinkan untuk menimba pengetahuan dari Taman Budaya Yogyakarta.

BENTUK dan FUNGSI
Bentuk penyelenggaraan sering memicu polemik, sejarah Biennale di Indonesia bisa menjadi contoh; Desember Hitam, Pameran Binal Seni Rupa di Jogja juga gerutuan perupa yang tidak terakses.Rumusan penyelenggaraan harus sudah jelas sejak awal dan mengkomunikasikan ke publik adalah permasalahan yang tidak kurang sulitnya karena seringkali masalah terjadi karena salah pengertian.

Biennale untuk Jawa Tengah mestinya memiliki kadar yang berbeda, adanya aspek pembelajaran dengan tidak mengesampingkan bobot Event, penekanan pada lokalitas yang artinya lingkup yang terbatas Jawa Tengah. Hal ini
diperlukan guna mematangkan sikap berkesenian publik Jawa Tengah.
Juga sekaligus menjadi alat tolok ukur sejauh mana pencapaian Wajah Seni rupa Jawa Tengah.

Membangun kesadaran 'pasar Wacana' yang artinya sikap dan pemikiran berkesenian adalah masalah penting selain sisi pasar karena walau bagaimanapun membentuk pasar melalui wacana adalah jalan yang lebih baik demi terbentuknya dinamika kreatif.
Dengan demikian diharapkan terbentuk atmosphere berkesenian sehat dan kreatif.

0 komentar Selasa, 07 Oktober 2008







Jamak diketahui bahwa seseorang akan selalu dikaitkan dengan tempat dimana dia tinggal, karena tempat atau domisili adalah lingkungan kehidupan. Sebuah lingkungan dimana kemudian seseorang akan dipengaruhi karakter, gaya, pandangan hidup, sikap dan nilai-nilai yang dianut bahkan tanggung jawabnya. Studi dalam kesenian terutama menyangkut subyek seniman akan ada metode untuk melacak jejak kecenderungan kreatif seseorang berdasar pada sejarah atau latar belakang hidupnya. Dimana saja tempat dalam sejarah hidupnya seseorang pernah tinggal akan menjadi rujukan karena Sejarah hidup seseorang adalah juga perkara lingkungan kehidupan/ masyarakat yang kemudian sampai sejauh mana mempengaruhi wujud karya karyanya.’ Para pencipta , mengalami banyak hal. Pertemuan dengan nilai-nilai sosialnya, dengan seniman-seniman lain dan bagaimana dia terus melahirkan karya-karya dari pertemuan itu. Pertemuan di dalam perjalanan dan bagaimana dia menemukan’.(Garin Nugroho, katalog Bienalle IX Yogyakarta).

Lingkungan kehidupan manusia pasti bukan sekedar daerah, semacam kota atau desa juga bukan hanya sekedar konsep ekosistem. Lingkungan kehidupan adalah hal kesadaran, semacam relasi subyek terhadap obyek, subyek dengan subyek. Bagi seorang seniman adalah sama saja dengan usaha untuk memaknai secara terus menerus, sebuah upaya menafsir diri dan lingkungannya.

Lingkungan kehidupan dalam matra waktu menjadi demikian dinamis karena selalu ada peristiwa. Peristiwa menghasilkan perubahan. Perubahan-perubahan ini terjadi karena bermacam alasan entah itu karena persoalan tata nilai, fluktuasi ekonomi, keputusan politik dan lain-lain. Selain beberapa hal seakan bersifat cenderung tetap terutama dalam hal-hal yang lebih bersifat mendasar. Misalnya nilai-nilai religius formal yang pada kenyataannya telah menjadi bagian dari karakter dalam hal ini adalah masyarakat Kudus sendiri.

Kudus adalah sebuah lingkungan kehidupan dimana di dalamnya bersemayam citra religius sesuai dengan pendapat Dr. R. Ng. Poerbatjaraka yang menyebutkan, di seluruh pulau Jawa, hanya ada satu tempat saja yang diberi nama dengan bahasa Arab, yaitu Kudus yang berarti Suci. Itulah keistimewaan kota Kudus yang masyarakatnya pada umumnya memiliki keyakinan terhadap agama islam yang kuat sekali (Ensiklopedi Islam, 1997/1998).

Secara geografis terletak di sebelah selatan kaki gunung Muria, yang memiliki karakter sendiri karena merupakan daerah pegunungan di pesisir utara pulau Jawa. Kudus kota sendiri dibelah oleh sungai Gelis yang mengalir ke selatan hingga membagi kota Kudus menjadi, Kudus Kulon yang terletak di sebelah barat dengan Kudus Wetan yang terletak di sebelah timur. Peninggalan sejarah yakni Menara Kudus yang berdampingan dengan Al-Masjid Al-Aqsha terletak di sebelah barat.

Kudus sendiri adalah kota yang bersejarah panjang yang tidak bisa dipisahkan dengan pendirinya yaitu Raden Ja’far Shadiq atau lebih dikenal sebagai Sunan Kudus yang adalah salah satu penyebar agama Islam di pesisir Jawa. Beberapa ritus atau kebiasaan yang berhubungan dengan Sunan ada didalamnya, misalnya pantangan untuk menyembelih sapi (sikap toleransi kepada penganut Hindu yang mensucikan sapi) dan upacara Haul Sunan Kudus semacam ritus upacara penggantian kain penutup makam Sunan. Dengan latar belakang demikian di seluruh pelosok Kudus terdapat banyak Pondok Pesantren .Hal ini membentuk citra yang berkarakter santri muslim kuat.

Selain itu Kudus dipersepsikan sebagai sebuah kota di Jawa Tengah yang memiliki ciri sosial ekonomi yang khas. Rokok , jenang, soto, bordir dan beberapa produk lain akan dengan mudah membawa imajinasi seorang tentang Kudus. Ada pandangan gusjigang, orang yang memenuhi kriteria bagus (bagus perilakunya), pinter ngaji (menguasai keilmuan) dan pinter dagang( terampil berdagang). Tiga hal itu menjadi semacam ciri yang melekat dalam diri Wong Kudus ( Kudus Kota Kretek, Maesah Anggni). Inikah kunci etos kerja warga Kudus yang tersohor itu? Sehingga membentuk ciri masyarakat santri muslim dengan tradisi ekonomi industri hingga kemudian konglomerat pertama Indonesia Nitisemito ada dan lahir di Kudus. Adanya kaum saudagar kemudian memicu lahirnya bentuk-bentuk arsitektur yang khas. Arsitektur bukan sekedar rumah tetapi juga sebuah kawasan berikut tata letaknya yang sekarang masih kita lihat dan ternyata bersama bentuk-bentuk budaya lain secara nyata tengah mengalami perubahan.

Kebudayaan adalah dinamika itu sendiri, karakter kultur pesisir yang konon terbuka terhadap pengaruh penetrasi kebudayaan dari luar mestinya menghasilkan dampak. Jika demikian apakah transformasi itu ada dan sedang terjadi di Kudus? Jika ada tranformasi sosial atau bahkan kebudayaan, sejauh manakah penetrasi terjadi? Bagaimanakah bentuk-bentuk tranformasi itu?

Jadi hendak ditegaskan bahwa, Kudus memiliki suatu entitas nilai dimana bisa saja ia telah menjadi icon kuat atau berupa gejala yang kemudian melahirkan tanda. Diantaranya adalah hipotesa mengenai transformasi itu sendiri, kebiasaan (adat), pola perilaku,sistem nilai, gaya hidup atau kecenderungan Trend. Gejala itu bisa saja tampil berupa peristiwa sehari-hari atau bahkan berbalut konflik antara sistem nilai dan tanda. Pengungkapan pada segi-segi terdalam diharapkan memunculkan gambaran kritis namun utuh dan apa adanya mengenai Kudus. Sehingga pada akhirnya akan memperkaya kazanah estetika pada lembaran budaya kontemporer.

Komunitas PAKU Kudus 24-1-08